Aku selalu iri pada orang yang bisa bermain musik.
Bukan karena mereka bisa menciptakan melodi, tapi karena mereka bisa membuat ketenangan yang punya arti.
Sedangkan aku... hanya bisa mendengarkan.
Dan terkadang, bahkan itu pun terasa menyakitkan.
Sejak kecil aku suka duduk di depan radio tua di rumah, menunggu lagi yang kusuka diputar ulang. Aku tak pernah tahu judulnya, tak tahu siapa penyanyinya.
Tapi setiap kali melodi itu muncul, rasanya seperti dunia berhenti sebentar, memberi ruang untuk bernapas.
Lucunya, sampai sekarang pun aku tidak bisa mengingat bagaimana bunyi lagu itu. Seolah-olah setiap kali aku mencoba memainkannya di kepala, nadanya menghilang begitu saja - seperti mimpi yang tertinggal di antara dua pagi.
Mungkin aku memang tidak dilahirkan untuk memainkan apa pun.
Aku hanya seseorang yang berusaha mendengarkan hidupnya sendiri, meski sering kali suaranya tenggelam oleh keramaian.
Tapi kemudian, ada satu suara yang berbeda.
Dia bukan lagu, bukan nada, bukan denting senar.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku ingin sekali belajar memainkan sesuatu.
Meskipun fals, meskipun gagal, aku ingin mencobanya.
Karena mungkin... dia akan mendengarkan.
Pukul sembilah pagi.
Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarku yang tipis, tapi aku belum juga beranjak dari kasur. Laptop masih menyala sejak semalam. Tab berisi kerjaan desain yang belum selesai, tapi aku lebih sibuk menatap langit-langit, mencoba mengingat mimpi yang baru saja menghilang.
Aku selalu memulai hari dengan perasaan aneh.
Antara malas dan ingin produktif. Antara ingin menjadi orang berguna dan ingin menghilang sehari saja tanpa ditanya siapa pun.
Tapi kemudian, email notifikasi masuk.
Dan seperti biasa - aku kalah lagi.
Sambil meneguk kopi instan yang rasanya sudah mulai hambar, aku membuka pekerjaan dari klien baruku: revisi desain logo kopi.
Lucu juga, aku menggambar logo kopi sambil meminum kopi murahan di kamar sempit ini.
Dulu aku kira hidup sebagai freelancer itu bebas.
Nyatanya, aku hanya lebih sering hidup sendiri.
"Bro! Udah bangun belum?!"
Suara Dio tiba-tiba terdengar dari depan kos.
Dia memang selalu mampir tanpa kabar, dan entah kenapa, aku nggak pernah keberatan.
Aku membuka pintu dengan rambut berantakan. Dio sudah berdiri dengan senyum lebarnya, membawa dua bungkus nasi uduk dan dua gelas teh manis.
"Aku tau lu belum makan," katanya sambil masuk tanpa izin.
"Lu kayak cenayang ya," jawabku.
"Bukan cenayang, pengalaman. Orang kayak lu tuh, kalau nggak diingetin, bisa hidup pakai kafein dan internet doang."
Aku tertawa kecil. Dio memang kayak gitu - orang yang kalau datang, suasana tiba-tiba jadi terang.
Mungkin karena dia selalu tau cara bikin sesuatu yang berat jadi bahan candaan.
Kami makan di lantai sambil ngobrol hal-hal yang gak penting. Tentang film yang baru dia tonton sama pacarnya, tentang teman lama yang tiba-tiba menikah, tentang hidup yang katanya 'serius tapi lucu'.
Dan aku cuma mendengarkan. Seperti biasa.
"Lu kenapa diem aja? Ada yang dipikirin, ya?" tanya Dio sambil menyuap suapan terakhirnya.
"Nggak, cuma... kayaknya hidup gue gini-gini aja," jawabku.
"Ya, emang. Hidup itu kayak nasi uduk - sama aja tiap hari, tapi kalo diganti malah aneh."
Aku tertawa, tapi dalam hati terasa sepi.
Dio mungkin nggak tau, tapi aku sudah lama merasa seperti yang nggak punya arah.
Aku suka menggambar, tapi nggak merasa berbakat.
Aku suka musik, tapi nggak bisa main alat musik apa pun.
Aku suka banyak hal, tapi nggak bisa jadi siapa pun.
Kadang aku bertanya,
apakah hidup ini tentang menemukan apa yang kita suka, atau menerima bahwa kita mungkin nggak akan pernah benar-benar pandai dalam hal apa pun?
Dio pergi setelah makan, meninggalkan bungkus nasi dan sisa teh di meja.
Aku kembali duduk di depan laptop, mencoba melanjutkan revisi.
Tapi pikiranku sudah melayang ke hal lain - tentang seseorang yang belum pernah benar-benar aku temui, tapi entah kenapa... terasa dekat.
Aku suka nonton film sendirian.
Bukan karena aku tidak punya teman, tapi karena aku tidak perlu menjelaskan kenapa aku diam saat adegan sunyi muncul.
Film membuatku merasa hidup tanpa harus banyak bicara.
Dan mungkin itu alasan kenapa aku tidak pernah bosan menontonnya berulang kali.
Hari itu, aku sedang mengerjakan proyek kecil dari seorang kenalan Dio - katanya, temannya butuh desain poster untuk film pendek kampus.
Proyek kecil, bayaran kecil, tapi lumayan buat bayar listrik dan beli kopi untuk seminggu.
Aku belum tahu siapa kliennya, tapi saat notifikasi pesan masuk, nama itu muncul.
"Hai, aku Nasya. Dio kasih kontak kamu ya? Soal desain poster filmku."
Aku membaca pesannya berulang kali.
Kata "filmku" terasa ringan tapi punya sesuatu - kayak seseorang yang bangga pada hal kecil yang dia cinta.
Aku membalas dengan sopan, menawarkan beberapa konsep dan minta brief singkat.
Beberapa menit kemudian, dia mengirim voice note.
"Jadi filmnya tentang dua orang asing yang nggak saling kenal, tapi duduk di bangku taman yang sama setiap sore. Mereka nggak ngobrol, cuma saling tahu keberadaan satu sama lain. Aku pengen posternya bisa kelihatan... sunyi, tapi hangat. Gitu."
Suara itu lembut.
Sedikit cepat saat menjelaskan, tapi punya nada hangat yang susah diabaikan.
Aku langsung bisa membayangkan orangnya - seseorang yang ceria, tapi punya sisi yang peka pada hal-hal kecil.
Kami bertukar pesan beberapa kali malam itu, dan aku mulai merasa kalau proyek ini berbeda.
Bukan karena bayarannya, tapi karena untuk pertama kalinya aku ingin membuat sesuatu yang benar-benar indah.
Bukan demi klien, tapi demi seseorang yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya.
...
Dua hari kemudian, kami sepakat untuk ketemu langsung - di sebuah kafe kecil dekat kampus tempat film itu dibuat.
Aku datang lebih awal, duduk di pojok jendela, sambil menatap laptop dan berpura-pura sibuk.
Setiap kali pintu kafe terbuka, aku menoleh sebentar, berharap itu dia.
Lalu, dia datang.
Rambutnya sebahu, sedikit bergelombang di ujung, dengan ekspresi wajah yang tampak lelah tapi cerah dalam waktu bersamaan.
Dia mengenakan kaos putih dan jaket denim, dan entah kenapa, setiap langkahnya seperti membawa sedikit cahaya masuk ke ruangan.
"Aris, ya?" katanya sambil senyum.
Aku , mengangguk gugup, hampir menjatuhkan gelas kopiku.
"Maaf, aku agak telat... ada sedikit masalah di lokasi syuting."
Suaranya sama persis seperti di voice note.
Dan tiba-tiba, aku tidak tahu harus membalas apa selain,
"Oh, nggak apa-apa."
Dia tertawa kecil, lalu duduk di depanku.
Dari dekat, matanya punya sesuatu - semacam ketulusan yang jarang kutemui.
Dia membuka laptop, lalu mulai menjelaskan ide filmnya sambil sesekali menatapku.
Aku mendengarkan dalam diam, sesekali mengangguk, tapi jantungku berdebar seolah dia sedang bicara langsung ke sana.
"Aku suka banget film yang bisa ngomong tanpa harus ngomong," katanya.
"Kayak... cuma tatapan, tapi kita ngerti maksudnya."
Aku terdiam.
Mungkin karena kalimat itu terdengar terlalu cocok dengan diriku.
"Kayak dua orang di taman itu, ya," jawabku pelan.
Dia menatapku, lalu tersenyum.
"Iya. Mungkin mereka nggak butuh kata-kata. Kadang, diam itu sudah cukup."
Entah kenapa, saat itu aku tahu - suara yang kucari selama ini mungkin bukan musik.
Mungkin... itu cara seseorang berbicara dalam diam.
Aku selalu canggung saat harus berurusan dengan orang yang kelihatan tahu apa yang mereka lakukan. Mungkin kerena aku sendiri sering nggak tahu apa yang sedang kulakukan.
Hari itu, Dio mengenalkan ku pada seseorang. Katanya, ada "peluang besar" untukku.
Biasanya kalau Dio bilang begitu, artinya aku akan diminta bantu desain gratis buat teman pacarnya.
Tapi kali ini beda.
Tempatnya di gedung tinggi, dengan ruangan ber-AC dingin dan aroma parfum mahal yang bikin aku merasa salah kostum.
"Aris, ini Maria."
Dio memperkenalkannya dengan nada bangga.
"Dia owner bran fashion ****. Lagi butuh desain buat kampanye barunya."
Maria mengulurkan tangannya.
Pegangangannya tegas, matanya tajam.
Dia tidak seperti orang-orang di lingkaranku. Cara dia berdiri, bicara, bahkan diam - semuanya seperti sudah direncanakan dengan sempurna.
"Aku sudah lihat beberapa portofoliomu," katanya datar tapi jelas.
"Sederhana, tapi jujur. Aku suka itu."
Aku cuma bisa mengangguk.
"Terima kasih, Kak."
Dia tersenyum tipis. "Panggil aku Maria aja."
Kami duduk berhadapan, membahas konsep visual untuk kampanye barunya.
Tema besarnya: "Simplicity is Power."
Ironisnya, aku merasa paling tidak berdaya di ruangan itu.
Tapi di sela-sela pembicaraan, aku mulai menyadari sesuatu: maria tidak hanya bicara tentang bisnis.
Dia bicara tentang arti kerja keras, tentang bagaimana hidup bukan soal bakat, tapi soal siapa yang paling tahan berproses.
"Aku juga nggak kuliah, Aris," katanya tiba-tiba.
"Orang dulu nganggep aku aneh, aku malah jualan baju online dari kamar. Tapi lihat, kadang yang nggak punya tempat justru belajar bikin tempatnya sendiri."
Kata-katanya menancap.
Aku tidak tahu kenapa, tapi kalimat itu terasa seperti ditujukan langsung kepadaku - atau mungkin pada versi diriku yang sudah lama berhenti berjuang/
Aku mengangguk pelan. "Berarti... Kakak nggak pernah takut gagal, ya?"
Dia tersenyum.
"Takut, sih. Tapi aku lebih taku nggak nyoba."
Entah kenapa, kalimat itu mengingatkanku pada Nasya.
Nasya dengan semangatnya yang lembut, dan Maria dengan ambisinya yang kuat - dua orang berbeda, tapi keduanya memantulkan sisi yang sama dari diriku yang belum selesai.
Pertemuan pertama itu berakhir dengan kesepakatan kerja sama kecil.
Maria memberiku proyek desain untuk kampanye lookbook musim depan. Bayarannya besar - cukup untuk bikin aku bisa bernapas lega selama beberapa bulan.
Tapi saat keluar dari gedung itu, aku justru merasa aneh. Bukan bangga, bukan senang.
Lebih seperti... kosong.
Malamnya, aku duduk di kamar sambil menatap layar laptop.
Chat terakhir dari Nasya masih belum kubalas. Dia kirim pesan,
"Besok bisa ketemu buat ngebahas konsep filmnya lagi? Aku mau nunjukin hasil syutingnya."
Aku mengetik "Bisa" tapi belum mengirim.
Sementara di satu sisi, email dari Maria masuk:
"Kirimkan konsep awal desain secepatnya. Aku ingin lihat bagaimana kamu menerjemahkan kata 'keberanian' dalam bentuk visual."
Aku menatap dua layar itu lama.
Dua dunia berbeda. Dua arah yang mungkin sama-sama menarikku keluar dari zona nyaman.
Dan entah kenapa, eku merasa...
untuk pertama kalinya, hidupku tidak lagi berjalan datar.
Kata Dio, manusia itu butuh dua hal buat tetap waras: makan yang enak, dan tempat buat ngomel.
Dan malam itu, aku buma butuh yang kedua.
Kami duduk di warung pecel lele langganan, di pinggir jalan yang lampunya temaram tapi penuh cerita. Dio sibuk ngaduk sambal, sementara aku sibuk mengaduk pikiran.
"Lu kenapa melamun terus, Ris? Nasi uduk udah lama abis, tapi lu masih mengunyah pikiran."
Aku menatapnya malas. "Nggak apa-apa."
"Kalimat paling bohong abad ini," katanya sambil tertawa.
"Udahlah, cerita aja. Tentang cewek ya, pasti?"
Aku diam sebentar.
Lalu menghela napas. "Ada dua, Dio."
"Dua?" Matanya langsung berbinar. "Wah, hidup lu mulai seru juga nih."
Aku menceritakan tentang Nasya dan proyek filmnya.
Tentang caranya bicara, caranya melihat dunia. Tentang bagaimana rasanya tenang kalau dengar dia ngomong. Lalu aku juga menceritakan Maria - tentang kesan pertama, tentang keberaniannya, tentang bagaimana dia bisa berdiri tegak di dunia yang keras.
Dio mendengarkan dengan serius, sesuatu yang jarang terjadi.
Setelah aku selesai, dia cuma bilang satu kalimat:
"Lu tahu nggak, Ris? Nasya itu kayak film yang lu tonton, tapi Maria itu kayak film yang pengen lu buat."
Aku terdiam.
Dan entah kenapa, kalimat itu langsung masuk.
"Film yang lu tonton itu bikin lu tenang," lanjutnya.
"Tapi film yang pengen lu buat itu bikin lu pengen berubah. Nah, sekarang tinggal lu pilih: lu mau hidup buat nyaman, atau hidup buat berkembang."
Aku tidak menjawab/
Di kepala, dua bayangan itu muncul bersamaan. Senyum Nasya yang hangat, dan tatapan Maria yang yakin.
Keduanya menarikku ke arah yang berbeda. tapi sama-sama membuatku ingin jadi seseorang yang lebih baik.
"Lu tahu, Dio," kataku pelan.
"Mereka berdua sama-sama bikin gue pengen belajar berani."
Dio tertawa pelan sambil menyandarkan tubuhnya di kursi plastik.
"Ya bagus dong. Tapi inget, berani bukan berarti nggak takut. Berani itu pas lu tetap berjalan, meski takut."
Dia meneguk teh botolnya, lalu menambahkan dengan nada santai,
"Oh iya, ngomong-ngomong, besok cewek film itu ngajak lu nonton film bareng kan? Jangan sampe lu ngomong kayak di kepala lu, ya. Bisa kabur tuh orang."
Aku tertawa kecil. "Nonton film bareng?"
Dia mengangguk dengan wajah serius pura-pura.
"Ya iyalah, itu kode universal, bro. Cewek ngajak nonton, artinya dia pengen lu ngerti sesuatu tanpa banyak ngomong. Film itu alasan."
Aku pura-pura cuek, tapi dalam hari aku tahu - mungkin Dio benar.
Film bukan cuma tontonan. Kadang, itu cara seseorang bicara tanpa kata-kata.
Dan mungkin, aku akan mulai belajar mendengarkan dari sana.
Aku datang lima belas menit lebih awal.
Kafe itu masih sepi, hanya ada suara pelayan yang menata gelas dan sedok di meja. Lampu gantung berwarna hangat membuat ruangan terasa seperti sore yang tak mau beranjak.
Di meja pojok, aku menyiapkan laptop dan beberapa sketsa desain untuk poster filmnya Nasya.
Aku mencoba terlihat tenang, tapi di dada ada sesuatu yang aneh - bukan gugup, tapi seperti... menunggu sesuatu tanpa tahu apa.
Lalu, pintu terbuka.
Nasya masuk dengan langkah cepat dan wajah yang sedikit berkeringat.
"Maaf ya, aku telat lagi," katanya sambil tertawa kecil.
"Macetnya parah banget."