Artikel Terbaru
Di sudut ruangan yang sedikit gelap, sebuah lukisan tergantung sendirian di dinding bata yang kasar. Goresan garisnya tampak kacau, namun memikat, seolah-olah setiap garis menyimpan rahasia gelap yang tak terucapkan. Lukisan itu adalah karya Elixia Hoyt, seorang wanita dengan masa lalu yang buram dan tangan yang ternoda oleh dosa-dosa yang tak terlihat.
Elixia bukan hanya seorang pelukis. Di balik namanya yang asing dan wajahnya yang menawan, dia adalah seorang pemb*n*h bayaran untuk sebuah organisasi pemerintah. Mereka menyebutnya "Vermillion," nama sandi yang melambangkan darah yang tertumpah dalam keheningan. Setiap misi yang ia jalani selalu berakhir dengan kematian bersih dan tanpa jejak, seolah korban-korbannya menghilang ditelan kegelapan.
Namun, Elixia memiliki ritual yang tak diketahui oleh siapapun, bahkan oleh birokrasi yang mempekerjakannya. Setiap kali dia berhasil menyelesaikan misinya, dia akan melukis. Kanvas putih itu akan dipenuhi dengan warna abu tua, hitam pekat, dan semburat kelabu yang membentuk bayangan aneh. Tidak ada yang tahu makna dari lukisan-lukisan itu, bahkan Elixia sendiri. ia hanya merasakan dorongan kuat untuk mengabadikan setiap nyawa yang ia renggut ke dalam kanvas. "Untuk mengenang," begitu ia selalu berkata pada dirinya sendiri.
Sampai pada suatu hari, Elixia menerima sebuah misi yang berbeda dari biasanya. Targetnya bukan seorang penghianat negara atau kriminal berbahaya. Kali ini, biro memintanya menghabisi seseorang yang tak tercatat dalam dokumen manapun. Tidak ada nama, tidak ada latar belakang, hanya sebuah foto buram yang disertai dengan titik koordinat di sebuah kota tua yang hampir ditinggalkan. "Kamu tahu apa yang harus dilakukan," ujar atasannya dengan suara berat melalui telepon yang disamarkan.
Elixia menerima misi itu tanpa pertanyaan. Malam itu, ia menyiapkan peralatan seperti biasa: pistol berperedam, pisau kecil, dan sebotol cairan tanpa warna yang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga. Namun, ketika ia tiba di lokasi yang ditentukan, perasaan aneh merayapi dirinya. Kota itu sepi, terlalu sepi untuk sebuah tempat yang konon masih berpenghuni. Langit di atasnya dipenuhi awan kelabu yang menggantung rendah, menambah kesan muram pada bangunan-bangunan tua yang retak dan berlumut.
Ia melangkah pelan, menghindari serpihan kaca dan kayu lapuk yang berserakan di jalan setapak. Koordinat itu membawanya ke sebuah rumah besar dengan papan nama yang sudah luntur: 'The Hoyt Manor'. Elixia berhenti sejenak, merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat. Nama itu... entah kenapa terasa familiar. Ia mencoba mengabaikan perasaan itu dan melanjutkan langkahnya.
Pintu rumah terbuka dengan mudah, berderit panjang seperti jeritan hantu yang tertahan. Di dalamnya, udara dingin dan aroma kayu basah merasuki hidungnya. Elixia menyisir ruangan demi ruangan, mencari sosok yang ada di foto buram itu. Namun, yang ia temukan hanyalah perabotan tua, cermin berdebu, dan lukisan-lukisan berbingkai emas yang tergantung di sepanjang dinding.
Sampai akhirnya, ia tiba di ruang utama. Di sana, sebuah lukisan besar berdiri sendirian di tengah ruangan yang kosong. Elixia merasakan tengkuknya meremang saat melihat lukisan itu. Bukan karena ukurannya yang besar, tapi karena sosok di dalamnya tampak nyata... terlalu nyata. Itu adalah potret seorang wanita berambut panjang dengan tatapan yang menusuk langsung ke arahnya.
Jantung Elixia berdegup kencang. Wanita itu... memiliki wajah yang sama persis dengan miliknya.
Elixia mundur selangkah, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Suara detak jam tua bergema pelan di sudut ruangan. Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, sesuatu menarik perhatiannya. Di bawah lukisan itu, tertera sebuah nama yang tertulis dengan tinta kusam: "Elixia Hoyt - 1987."
"Tidak mungkin" gumamnya pelan. Tubuhnya membeku. Tahun itu... dia bahkan belum lahir.
Pintu di belakangnya tiba-tiba tertutup dengan suara keras. Elixia tersentak dan berbalik, namun tak ada siapa pun di sana. Hanya bayangan gelap yang merayap di dinding, seolah hidup dan berbisik pelan dalam bahasa yang tak dimengerti. Elixia menghunus pisau kecilnya, berjaga-jaga, namun instingnya berkata bahwa senjata tidak akan berguna melawan sesuatu yang tak terlihat.
Suara langkah kaki bergema di lantai kayu tua, berputar mengelilinginya. "Siapa di sana?!" serunya, suaranya memantul di dinding-dinding usang itu. Tidak ada jawaban, hanya suara langkah yang semakin mendekat. Tiba-tiba, lampu gantung di atasnya berkedip pelan, lalu mati sepenuhnya. Kegelapan menyelimuti, hanya disisakan bayangan samar dari jendela.
Dari balik kegelapan, ia melihat siluet wanita berambut panjang, seperti yang ada di lukisan itu, berdiri di sudut ruangan. Matanya memandang lurus ke arah Elixia, dan bibirnya yang pucat tersenyum tipis.
Elixia mundur, napasnya tersengal. "Tidak mungkin... ini tidak nyata," bisiknya, namun siluet itu tetap ada, semakin mendekat setiap kali ia berkedip.
"Selamat datang di rumah, Elixia," suara itu berbisik, menggema di ruang kosong. Elixia menjerit, dan semuanya menjadi gelap.
Ketika ia sadar, Elixia menemukan dirinya duduk di sebuah kursi tua di tengah ruang utama yang tadi kosong. Kini ruangan itu penuh dengan orang-orang yang memandangnya, semua berwajah pucat dan mata kosong. Di antara mereka, wanita berambut panjang itu berdiri di tengah, tersenyum padanya.
"Selamat datang di akhir perjalananmu," ujar wanita itu. "Kau telah melukis kematian mereka... dan kini, kau adalah bagian dari lukisan itu."
Elixia mencoba bergerak, namun tubuhnya membeku. Tangannya meraih wajahnya dan merasakan tekstur kanvas di kulitnya. Jeritan tertahan di kerongkongan, dan dunianya memudar dalam kerangka lukisan yang menggantung di dinding Hoyt Manor.
Dan di sudut kanvas itu, terukir namanya: Elixia Hoyt - 2025.
~~~