Artikel Terbaru
Aku pertama kali melihatnya dalam mimpiku.
Di dunia itu, langit selalu berwarna kelabu, dan angin berhembus pelan seperti suara bisikan yang tak pernah selesai. Aku berdiri di tengah jalanan kosong, dan di ujung sana, ia muncul. Rambutnya seperti helaian tinta yang menarik tertiup angin, dan matanya... matanya seperti lubuk waktu, dalam dan tak terukur.
Namanya Lily. Ia memberitahuku tanpa suara, hanya lewat pandangan. Dan entah bagaimana, aku tahu.
"Kenapa aku di sini?" tanyaku.
Ia tersenyum samar. "Karena kau lupa."
"Lupa apa?"
"Lupa siapa aku. Dan siapa kamu."
Setiap malam sejak itu, aku kembali ke dunia yang sama. Dunia tanpa waktu. Dunia yang hanya ada kami berdua. Lily bercerita tentang pohon-pohon yang bernyanyi, sungai yang mengalir ke langit, dan tentang perang besar yang hampir menghancurkan tempat asalnya. Ia adalah penjaga terakhir dari Perpustakaan Cahaya - tempat di mana ingatan setiap dunia disimpan.
"Aku sedang mencari sesuatu," katanya suatu malam sambil duduk di sampingku, di atas bukit yang terbuat dari serpihan kaca.
"Apa itu?"
"Diriku sendiri."
Aku ingin memeluknya saat itu, tapi seperti kabut, ia perlahan menjauh setiap kali aku mencoba mendekat.
Sampai malam ke-28, ia menatapku dan berkata, "Kau adalah satu-satunya yang bisa menuliskan kembali aku ke dunia nyata. Sebab kau satu-satunya yang masih mengingatku."
Lalu aku terbangun. Tanganku masih terasa hangat. jantungku berdegup keras, seperti baru saja berpisah dari seseorang yang benar-benar nyata.
Maka kuambil pena dan mulai menulis.
Lily, dari dunia fiksi, yang kini hidup di dalam setiap hurufku.
~~~