Aku selalu suka menonton film sendirian.
Bukan karena aku tidak punya teman, tapi karena aku tidak perlu menjelaskan kenapa aku diam saat adegan sunyi muncul.
Film membuatku merasa hidup tanpa harus banyak bicara.
Dan mungkin itu alasan kenapa aku tidak pernah bosan menontonnya berulang kali.
Hari itu, aku sedang mengerjakan proyek kecil dari seorang kenalan si Dio - katanya, temannya butuh desain poster untuk film pendek kampus.
Proyek kecil, bayaran kecil, tapi lumayan buat bayar listrik dan beli kopi untuk seminggu.
Aku belum tahu siapa kliennya, tapi saat notifikasi pesan masuk, nama itu muncul.
"Hai, aku Nasya. Dio kasih kontak kamu ya? Soal desain poster filmku."
Aku membaca pesannya berulang kali.
Kata "filmku" terasa ringan tapi punya sesuatu - kayak seseorang yang bangga pada hal kecil yang dia cintai.
Aku membalas dengan sopan, menawarkan beberapa konsep dan minta brief singkat.
Beberapa menit kemudian, dia mengirim voice note.
"Jadi filmnya tentang dua orang asing yang nggak saling kenal, tapi duduk di bangku taman yang sama setiap sore. Mereka nggak pernah ngobrol, cuma saling tahu keberadaan satu sama lain. Aku pengen posternya bisa kelihatan... sunyi, tapi hangat. Gitu."
Suara itu lembut.
Sedikit cepat saat menjelaskan, tapi punya nada hangat yang susah diabaikan.
Aku langsung bisa membayangkan orangnya - seseorang yang ceria, tapi punya sisi yang peka pada hal-hal kecil.
Kami bertukar pesan beberapa kali malam itu, dan aku mulai merasa kalau proyek ini berbeda.
Bukan karena bayarannya, tapi karena untuk pertama kalinya aku ingin membuat sesuatu yang benar-benar indah.
Bukan demi klien, tapi demi seseorang yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya.
Dua hari kemudian, kami sepakat untuk ketemu langsung - di sebuah kafe kecil dekat kampus tempat film itu dibuat.
Aku datang lebih awal, duduk di pojok dekat jendela, sambil menatap laptop dan berpura-pura sibuk.
Setiap kali pintu kafe terbuka, aku menoleh sebentar, berharap itu dia.
Lalu, dia datang.
Rambutnya sebahu, sedikit bergelombang di ujung, sedikit bergelombang di ujung, dengan ekspresi wajah yang tampak lelah tapi cerah dalam waktu bersamaan.
Dia mengenakan kaos putih dan jaket denim, dan entah kenapa, setiap langkahnya seperti membawa sedikit cahaya masuk ke ruangan.
"Aris, ya?" katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk gugup, hampir menjatuhkan gelas kopiku.
"Maaf, aku agak telat... ada sedikit masalah di lokasi syuting."
Suaranya sama persisi seperti di voice note.
Dan tiba-tiba, aku tidak tahu harus membalas apa selain,
"Oh, nggak apa-apa."
Dia tertawa kecil, lalu duduk di depanku.
Dari dekat, matanya punya sesuatu - semacam ketulusan yang jarang kutemui.
Dia membuka laptop, lalu menjelaskan ide filmnya sambil sesekali menatapku.
Aku mendengarkan dalam diam, sesekali mengangguk, tapi jantungku berdebar seolah dia sedang bicara langsung kesana.
"Aku suka banget film yang bisa ngomong tanpa harus ngomong," katanya.
"Kayak... cuma tatapan, tapi kita ngerti maksudnya."
Aku terdiam.
Mungkin karena kalimat itu terdengar terlalu cocok dengan diriku.
"Kayak dua orang d taman itu, ya," jawabku pelan.
Dia menatapku, lalu tersenyum.
"Iya. Mungkin mereka nggak butuh kata-kata. Kadang, dia itu sudah cukup."
Entah kenapa, saat itu aku tahu -
Suara yang kucari selama ini mungkin bukan musik.
Mungkin... itu suara seseorang berbicara dalam diam.