Pukul sembilan pagi.
Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarku yang tipis, tapi aku belum juga beranjak dari kasur. Laptop masih menyala dari semalam. Tab berisi pekerjaan desain belum selesai, tapi aku lebih sibuk menatap langit-langit, mencoba mengingat mimpi yang baru saja hilang.
Aku selalu mulai hari dengan perasaan aneh.
Antara malas dan ingin produktif. Antara ingin jadi orang berguna dan ingin menghilang sehari saja tanpa ditanya siapa pun.
Tapi kemudian, notifikasi email masuk.
Dan seperti biasa - aku kalah lagi.
Sambil meneguk kopi instan yang rasanya sudah mulai hambar, aku membuka pekerjaan dari klien baruku: revisi desain logo kedai kopi.
Lucu juga, aku menggambar logo kopi sambil meminum kopi murahan di kamar sempit ini.
Dulu aku kira hidup sebagai freelancer itu bebas.
Nyatanya, aku hanya lebih sering sendiri.
"Bro! Udah bangun belum?!"
Suara Dio tiba-tiba terdengar dari depan kos.
Dia memang selalu mampir tanpa kabar, dan entah kenapa, aku nggak pernah keberatan.
Aku membuka pintu dengan rambut berantakan. Dio sudah berdiri dengan senyum lebarnya, membawa dua bungkus nasi uduk dan dua gelas teh manis.
"Aku tahu lu belum makan," katanya sambil masuk tanpa izin.
"Lu kayak cenayang ya," jawabku.
"Bukan cenayang, pengalaman. Orang kayak lu tuh, kalau nggak diingetin, bisa hidup pakai kafein dan internet doang."
Aku tertawa kecil. Dio memang kayak gitu - orang yang kalau datang, suasana tiba-tiba jadi terang.
Mungkin karena dia selalu tahu cara bikin sesuatu yang berat jadi bahan candaan.
Kami makan di lantai sambil ngobrol hal-hal nggak penting. Tentang film yang baru dia tonton sama pacarnya, tentang teman lama yang tiba-tiba menikah, tentang hidup yang katanya 'seru tapi lucu'.
Dan aku cuma mendengarkan. Seperti biasa.
"Lu kenapa diem aja? Ada yang dipikirin, ya?" tanya Dio sambil menyuap suapan terakhirnya.
"Nggak, cuma... kayaknya hidup gue gini-gini aja," jawabku.
"Ya emang. Hidup itu kayak nasi uduk - sama aja tiap hari, tapi kalo diganti malah aneh."
Aku tertawa, tapi dalam hati terasa sepi.
Dio mungkin nggak tahu, tapi aku sudah lama merasa seperti orang yang nggak punya arah.
Aku suka menggambar, tapi nggak merasa berbakat.
Aku suka musik, tapi nggak bisa main alat musik apa pun.
Aku suka banyak hal, tapi nggak bisa jadi siapa pun.
Kadang aku bertanya,
apakah hidup ini tentang menemukan apa yang kita suka, atau menerima bahwa kita mungkin nggak akan pernah benar-benar pandai dalam hal apa pun?
Dio pergi setelah makan siang, meninggalkan bungkus nasi dan sisa teh di meja.
Aku kembali duduk di depan laptop, mencooba melanjutkan revisi.
Tapi pikiranku sudah melayang ke hal lain - tentang seseorang yang belum pernah benar-benar aku temui, tapi entah kenapa... terasa dekat.